Selasa, 03 Juli 2012

Peranan Pancasila Dalam Pembangunan Ekonomi


PERANAN PANCASILA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

Hampir semua pakar ekonomi Indonesia memiliki kesadaran akan pentingnya moralitas kemanusiaan dan ketuhanan sebagai landasan pembangunan ekonomi. Namun dalam praktiknya, mereka tidak mampu meyakinkan pemerintah akan konsep-konsep dan teori-teori yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Bahkan tidak sedikit pakar ekonomi Indonesia yang mengikuti pendapat atau pandangan pakar Barat (pakar IMF) tentang pembangunan ekonomi Indonesia.
Pilar Sistem Ekonomi Pancasila meliputi: (1) ekonomika etik dan ekonomika humanistik (dasar), (2) nasional ekonomi dan demokrasi (cara/metode operasionalisasi), dan (3) ekonomi berkeadilan sosial (tujuan). Kontekstualisasi dan implementasi Pancasila dalam bidang ekonomi cukup dikaitkan dengan pilar-pilar di atas dan juga dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dipecahkan oleh sistem ekonomi apapun. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: (a) Barang dan jasa apa yang akan dihasilkan dan berapa jumlahnya; (b) Bagaimana pola atau cara memproduksi barang dan jasa itu, dan (c) Untuk siapa barang tersebut dihasilkan, dan bagaimana mendistribusikan barang tersebut ke masyarakat.
Langkah yang perlu dilakukan adalah perlu digalakkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila melalui proses pendidikan dan keteladanan. Perlu dimunculkan gerakan penyadaran agar ilmu ekonomi ini dikembangkan ke arah ekonomi yang humanistik, bukan sebaliknya mengajarkan keserakahan dan mendorong persaingan yang saling mematikan untuk memuaskan kepentingan sendiri. Ini dilakukan guna mengimbangi ajaran yang mengedepankan kepentingan pribadi, yang melahirkan manusia sebagai manusia ekonomi (homo ekonomikus), telah melepaskan manusia dari fitrahnya sebagai makhluk sosial (homo socius), dan makhluk beretika (homo ethicus).
Relevankah Ekonomi Pancasila dalam memperkuat peranan ekonomi rakyat dan ekonomi negara di era global (isme) kontemporer? Mereka skeptis, bukankah sistem ekonomi kita sudah mapan, makro-ekonomi sudah stabil dengan indikator rendahnya inflasi (di bawah 5%), stabilnya rupiah (Rp 8.500,-), menurunnya suku bunga (di bawah 10%). Lalu, apakah tidak mengada-ada bicara sistem ekonomi dari ideologi yang pernah “tercoreng”, dan tidak nampak wujudnya, tidak realistis, dan utopis? Mereka ini begitu yakin bahwa masalah ekonomi (krisis 97) adalah karena “salah urus” dan bukannya “salah sistem”, apalagi dikait-kaitkan dengan “salah ideologi” atau “salah teori” ekonomi. Tidak dapat disangkal, KKN yang ikut memberi sumbangan besar bagi keterpurukan ekonomi bangsa ini. Namun, krisis di Indonesia juga tidak terlepas dari berkembangnya paham kapitalisme disertai penerapan liberalisme ekonomi yang “kebablasan”. Akibatnya, kebijakan, program, dan kegiatan ekonomi banyak dipengaruhi paham (ideologi), moral, dan teori-teori kapitalisme-liberal.
Di sinilah relevansi Ekonomi Pancasila, sebagai “media” untuk mengenali (detector) bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Pembangunan politik memiliki dimensi yang strategis karena hampir semua kebijakan publik tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya. Tidak jarang kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah mengecewakan sebagian besar masyarakat. Beberapa penyebab kekecewaan masyarakat, antara lain: (1) kebijakan hanya dibangun atas dasar kepentingan politik tertentu, (2) kepentingan masyarakat kurang mendapat perhatian, (3) pemerintah dan elite politik kurang berpihak kepada masyarakat, (4) adanya tujuan tertentu untuk melanggengkan kekuasaan elite politik.

Keberhasilan pembangunan politik bukan hanya dilihat atau diukur dar terlaksananya pemilihan umum (pemilu) dan terbentuknya lembaga-lembaga demokratis seperti MPR, Presiden, DPR, dan DPRD, melainkan harus diukur dari kemampuan dan kedewasaan rakyat dalam berpolitik. Persoalan terakhirlah yang harus menjadi prioritas pembangunan bidang politik. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa manusia adalah subjek negara dan karena itu pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Namun, cita-cita ini sulit diwujudkan karena tidak ada kemauan dari elite politik sebagai pemegang kebijakan publik dan kegagalan pembangunan bidang politik selama ini.
Pembangunan politik semakin tidak jelas arahnya, manakala pembangunan bidang hukum mengalami kegagalan. Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi tidak dapat ditegakkan oleh hukum. Hukum yang berlaku hanya sebagai simbol tanpa memiliki makna yang berarti bagi kepentingan rakyat banyak. Pancasila sebagai paradigma pembangunan politik juga belum dapat direalisasikan sebagaimana yang dicita-citakan. Oleh karena itu, perlu analisis ulang untuk menentukan paradigma yang benar-benar sesuai dan dapat dilaksanakan secara tegas dan konsekuen.
Pancasila sebagai paradigma pambangunan politik dan hukum kiranya tidak perlu dipertentangkan lagi. Bagaimanakah melaksanakan paradigma tersebut dalam praksisnya? Inilah persoalan yang perlu mendapat perhatian dalam pembangunan politik dan hukum di masa-masa mendatang.
Apabila dianalisis, kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa persoalan seperti:
1. Tidak jelasnya paradigma pembangunan politik dan hukum karena tidak adanya blue print.
2. Penggunaan Pancasila sebagai paradigma pembangunan masih bersifat parsial.
3. Kurang berpihak pada hakikat pembangunan politik dan hukum.
Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa implikasi yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia. Pembangunan bidang ini boleh dikatakan telah gagal mendidik masyarakat agar mampu berpolitik secara cantik dan etis karena lebih menekankan pada upaya membangun dan mempertahankan kekuasaan. Implikasi yang paling nyata dapat dilihat dalam pembangunan bidang hukum serta pertahanan dan keamanan.
Pembangunan bidang hukum yang didasarkan pada nilai-nilai moral (kemanusiaan) baru sebatas pada tataran filosofis dan konseptual. Hukum nasional yang telah dikembangkan secra rasional dan realistis tidak pernah dapat direalisasikan karena setiap upaya penegakan hukum selalu dipengaruhi oleh keputusan politik. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila pembangunan bidang hukum dikatakan telah mengalami kegagalan. Sementara, pembangunan bidang pertahanan dan keamanan juga telah menyimpang dari hakikat sistem pertahanan yang ingin dikembangkan seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri republik tercinta ini. Pembangunan pertahanan dan keamanan lebih diarahkan untuk kepentingan politik, terutama guna mempertahankan kekuasaan.                                                   
Demikian, berbeda dengan pandangan pakar-pakar ekonomi arus utama (main stream), kerusakan ekonomi yang dialami sektor modern/ konglomerat tidak perlu diratapi, dan kita tidak perlu mati-matian memulihkan kondisi ekonomi pra-krisis yang sangat timpang. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang demokratis, menunjuk pada asas ke-4 Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dimana ekonomi rakyat mendapat dukungan pemihakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Bahwa sejauh ini pakar-pakar ekonomi arus utama menolak konsep ekonomi kerakyatan, bahkan juga ekonomi kekeluargaan, yang hendak digusur dari pasal 33 UUD 1945, adalah karena mereka secara a priori menganggap ekonomi kerakyatan bukan sistem ekonomi pasar, tetapi dituduh sebagai sistem ekonomi “sosialis-komunis” ala Orde Lama 1959-1966. Pandangan dan pemihakan mereka pada konglomerat yang liberal-kapitalistik memang amat sulit diubah lebih-lebih setelah (istilah mereka) ”Uni Sovyet pun kapok dengan sosialisme, dan RRC juga sudah menjadi kapitalis”. Sudah pasti mereka “keblinger” karena paham sosialisme tidak pernah mati, dan ekonomi RRC tumbuh cepat bukan karena meninggalkan paham sosialisme tetapi karena amat berkembangnya ekonomi rakyat. Ekonomi Indonesia akan tumbuh cepat seperti ekonomi RRC jika mampu mengalahkan virus korupsi yang tumbuh subur sejak awal gerakan reformasi yang telah benar-benar melenceng. 

Revolusi Mewujudkan Ekonomi Pancasila 
Tanggal 12 Agustus 2002 UGM mendirikan PUSTEP (Pusat Studi Ekonom Pancasila) yang kemudian disambut pembentukan Komisi Ad Hoc Kajian Ekonomi Pancasila pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Pendirian PUSTEP-UGM ini kemudian diikuti pembentukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PSEK) di Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa tanggal 16 Agustus 2003 semuanya berkehendak menyumbangkan teori-teori dan ilmu ekonomi (asli) Indonesia yang benar-benar memberi manfaat pada masyarakat/ bangsa Indonesia khususnya wong cilik. 
Ekonomi Pancasila bukanlah sistem ekonomi baru yang masih harus diciptakan untuk mengganti sistem ekonomi yang kini “dianut” bangsa Indonesia. Bibit-bibit sistem ekonomi Pancasila sudah ada dan sudah dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat perdesaan dalam bentuk usaha-usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. 
Adapun mengapa praktek-praktek kehidupan riil dan kegiatan ekonomi rakyat yang mengacu pada sistem (aturan main) ekonomi Pancasila ini tersendat-sendat, alasannya jelas karena politik ekonomi yang dijalankan pemerintah bersifat liberal dan berpihak pada konglomerat. Ketika terjadi krismon 1997-1998, meskipun keberpihakan pemerintah pada konglomerat belum hilang, tetapi gerakan ekonomi kerakyatan yang dipicu semangat reformasi memberikan iklim segar pada berkembangnya sistem ekonomi Pancasila yang berpihak pada ekonomi rakyat. 
Pembentukan PUSTEP UGM tepat waktu untuk mengisi kevakuman sistem ekonomi nasional, ketika sistem ekonomi kapitalis liberal di Indonesia sedang digugat, dan sistem ekonomi kerakyatan sedang mencari bentuknya yang tepat dan operasional. Sistem ekonomi kerakyatan merupakan sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila yang diragukan dan tegas-tegas ditolak oleh teknokrat “keblinger”, yang begitu  silau dengan sistem ekonomi kapitalis liberal dari Barat (Amerika). PUSTEP UGM bertekad melakukan kajian-kajian kehidupan riil (real life) sehingga dapat membakukan ilmu ekonomi tentang kehidupan riil (real-life economics) dari masyarakat/bangsa Indonesia.
Jika Ahmad Syafii Ma’arif dan Franz Magnis-Suseno di dalam Seminar “Meluruskan Jalan Reformasi”, mengibaratkan bangsa Indonesia sudah mendekati “jurang kehancuran”, maka reformasi lebih-lebih yang bersifat tambal-sulam jelas tidak akan memadai. “Kapal” Indonesia harus dibalikkan arahnya. Itulah revolusi bukan sekedar reformasi. 
Kompleksitas krisis multidimensi sekarang dan beratnya beban kesulitan mengatasi dan mengakhirinya membuat tekad membangun masa depan harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan besar dan inisiatif tingkat tinggi. Tindakan besar yang dimaksud adalah suatu tindakan fundamental, yang secara moral setara dengan revolusi, atau bahkan perang. Justru inilah suatu bentuk nyata ”jihad akbar” yang tidak menuntut pengorbanan pertumpahan darah, tetapi menuntut pengorbanan melawan egoisme dan subjektivisme, suatu bentuk pengorbanan psikologis. Jihad akbar adalah jenis perjuangan berat melawan diri sendiri, suatu perjuangan yang memerlukan keberanian menyatakan apa yang benar walaupun pahit karena bertentangan dengan kepentingan pribadi atau kelompok.

0 komentar:

Posting Komentar