Senin, 21 Mei 2012

Pembaharuan Pesantren


PEMBAHARUAN PESANTREN

A. PENDAHULUAN
Modernisasi relah merambah berbagai bidang kehidupan umat manusia termasuk pesantren. modernisasi yang dilaksanakan di dunia pesantren memiliki karakteristik tersendiri bila dibandingkan dengan pembaharuan di bidang lain. Keunikan pesantren terletak pada kealotan dan kuatnya proses tarik menarik antara sifat dasar yang tradisional dengan potensi dasar modernisasi yang progresif dan senantiasa berubah.
Sebagai upaya untuk mempertahankan ekstensi sekaligus menarik pangsa pasar maka pesantren harus melakukan pembaharuan. Beptu pula arah tujuannya harus jelas yang ditentukan sebelum diimplementasikan dalam langkah-langkah pembaharuan. Penentuan arah yang jelas ini akan terimplikasi pada bentuk dan aspek pembaharuan.
Topik ini layak untuk diuraikan karena mengandung beberapa signifikansi sebagai berikut :
1. Kajian pembaharuan merupakan kajian yang relevan bila di antara konteks Indonesia yang sedang melakukan pembangunan modernisasi.
2. Pesantren merupakan subkultur pandidikan di Indonesia sehingga dalam menghadapi pembaharuan akan memberikan warna yang unik.
3. Pendidikan pesantren disinyalir merupakan prototipe model pendidikan yang ideal bagi bangsa Indonesia, sebab tujuan pendidikan nasional adalah menyeimbangkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
4. Sebenarnya dalam pesantren yang nota bene sebuah lembaga pendidikan tradisional melakukan pembaharuan atau tidak.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah deskripsi analisis dengan menggunakan analisis histori sosiologi. Maksudnva realita pembaharuan yang ada di pesantren sekecil apapun diungkapkan dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat yang ada pada saat itu. Hal ini untuk mendeteksi akar permasalahan yang dihadapi, sehingga diperlukan adanya pembaharuan di dunia pesantren. Karena penelitian ini bersifat literalistik maka teknik pengumpulan datanya dengan mengkaji literatur atau pustaka (library research) yang relevan dengan topik yang dibahas.
Langkah-langkah penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan gambaran umum tentang tema yang diangkat, baik yang berkaitan langsung atau data yang mendukung.
2. Melakukan pemetaan atau klasifikasi terhadap data yang, sudah dikumpulkan untuk mendapatkan data yang bcnar-benar relevan dengan tema yang diangkat.
3. Menganalisis secara kritis terhadap data yang relevan tersebut untuk dituangkan dalam bentuk tulisan yang rumit.
Oleh karena itu, muncul masalah dalam penulisan, antara lain: (1) Bagaimana hakikat pembaharuan pesantren (2) Bagaimana arah pembaharuan pesantren (3) Aspek-aspek apa dalam pembaharuan di dunia pesantren?

B. HAKIKAT PEMBAHARUAN
Pembaharuan merupakan terjemahan dart istilah asing reforniatzon. Istilah reformation sendiri merupakan derivasi dari kata reform yang berarti menjadikan seseorang, lembaga, prosedur, sistem, atau tradisi menjadi lebih baik dengan melakukan pembaharuan. Sementara, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikarn sebagai perubahan radikal untuk perbaikan bidang sosial, politik atau agama di masyarakat atau negara.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa pembaharuan adalah proses perubahan yang dilakukan secara mendasar dan diartikan pada perbaikan atau menyempurnaan sistem sosial, politik, bahkan agama dalam sebuah wilayah atau negara tertentu. Dari pernyataan ini bila dikaji lebih jauh dapat dikatakan bahwa hakikat pembaharuan mengandung lima hal pokok, sebagai berikut.
1. Adanya perubahan. Hal ini mengingatkan pada filsafat pantarei-nya Harakleitos yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat diamati oleh panca indera mengalami perubahan. Perubahan adalah proses.
2. Proses perubahan tersebut dilaksanakan secara rnendasar. Sebab bila perubahan itu sudah sampai pada waktunya maka pembaharuan yang intinya, adalah perubahan mendasar dirasakan sebagai yang tidak luar biasa karcna mc-mang tclah datang waktunva untuk bcrubah.
3. Mengarah pada perbaikan. perubahan yang tidak menuju pada perbaikan hanya akan menimbulkan dan anarkisme, sedangkan kerusakan dan anarkisme itu sendiri secara intern bertentangan dengan ajaran Islam. Boleh melakukan perusakan asal tidak melakukan perusakan, baik pada alam atau lingkungan bahkan manusia itu scndiri. Bila masih dilanggar berarti sangat kontraproduktif dengan intisari pembaharuan.
4. Objeknya jelas. Proses pembaharuan di samping dilakukan dengan arah yang jelas juga menuntut pada kejelasan aspek-aspek yang ingin dilahukan perubahan. Sebab, tanpa penjelasan objek sasaran maka pembaharuan yang akan dilakukan hanya akan menjadi kekecewaan yang sulit diubati.
5. Terjadinya pada wilayah tertentu. Poin ini menjadi spesifikasi pembaharuan. Wilayah atau tempat berlakunya pcmbaharuan bisa berada di mana-mana. Pcmbaharuan pun bisa terjadi di tempat yang dianagap sangat mustahil. Dalam hal ini dapat diambil contoh dunia pesantren.


Dengan memperhatikan uraian di atas maka pembaharuan pada hakikatnya, adalah upaya perubahan untuk menuju pada yang lebih baik yang sejalan dengan fitrah alam dan manusia. Apabila pemahaman ini digunakan maka pembaharuan di dunia pesantren merupakan sesuatu yang bukan baru sama sekali.

C. ARAH DAN PRINSIP PEMBAHARUAN PESANTREN
Diskursus pembaharuan telah memunculkan banyak karya ilmiah, apalagi bila dikaitkan dcngan variabel pesantren yang notabene adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia dengan karateristik yang bukan hanya identik dengan makna keislaman melainkam juga indigenous. Kemampuan pesantren untuk melaksanakan adjustment dan readjustment merupakan bukti sekaligus langkah strategis untuk tetap eksis di era modern ini.
Sebagai upaya para pengelola pesantren untuk senantiasa eksis dan menampung dinamika masyarkat khususnya umat Islam maka langkah yang diambil, adalah menentukan arah pembaharuan itu sendiri. Dalam menentukan arah pembaharuan di dunia pesantren terdapat paling tidak tiga paradigma yang digunakan, yakni :
1. Pengelola yang akomodatif dengan pembaharuan,
2. Pengelola yang menolak sama sekali perubahan apapun, dan
3. Pengelola yang penuh kehati-hatian dengan sangat selektif menerima pembaharuan.
Tipologi di atas lebih mengacu pada paradigma pemilikan dan sikap umat terhadap proses moderenisasi. Dalam konteks pesantren ketiga paradigma di atas layak juga untuk diangkat. Sebab bagaimanapun dalam diri pengelola pesantren telah terjadi pergulatan pemikiran dan sikap yang cukup alot. Apalagi bagi seorang kyai yang notabene sikap kehati-hatiannya sangat tinggi dalam memberikan tanggapan atau respon dalam berbagai gejolak sosial yang ada dalam masyarakat. Merekalah yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan masyarakat pedesaan khususnya baik di dunia maupun di akhirat. Ketiga paradigma di atas berimplikasi pada proses pembaharuan yang dilaksanakan di dunia pesantren.
Bila dilihat secara umum arah dan prinsip yang ditentukan oleh pengelola pesantren dalam upaya pembaharuannya mempertahankan secara kuat tradisi yang dianggap baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Arab dan prinsip ini kemudian diimplimentasikan dalam berbagai langkan pembaharuan. Pembaharuan yang mendasarkan diri pada arah dan prinsip di atas akan mencakup beberapa aspek.

D. ASPEK-ASPEK PEMBANARUAN DI DUNIA PESANTREN
Dinamika masyarakat yang berkembang pada awal abad ke-20 telah memberikan corak khusus bagi perkembangan dunia pesantren. Pada saat itu dunia pendidikan di wilayah Nusantara termasuk di Pulau Jawa telah dimonopoli oleh sistem pendidikan kolonial. Walaupun sekolah-sekolah Belanda telah menjamah di berbagai daerah Jawa, sebagai upaya untuk menghambat pertumbuhan pesantren, justru pesantren secara kuantitas semakin meningkat, sehingga perkembangan dunia pesantren sedikit banyak terpengaruh apalagi dengan adanya ordonansi kolonial yang mcngharuskan pengelola pesantren melaporkan segala aktivitasnya kepada pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan ini diambil sebagai antisipasi terhadap menyebarnya pengaruh yang lebih luas dari adanya organisasi pendidikan yang tumbuh subur, sepcrti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdlatul Wahan, NU, dan sebagainya. “Sedangkan dalam tubuh umat Islam sendiri terutama orang yang melaksanakan ibadah haji telah tumbuh kesadaran akan arti pentingnya sebuah pembaharuan. Kesadaran ini merupakan buah kerja keras para pembaharu di dunia Islam seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan lain-lain.'
Kesadaran tersebut disosialisasikan kepada masyarakat dengan melihat realitas yang sedang dihadapi, yakni kolonialisme dan kristenisasi, sehingga tidak mengherankan jika kemudian muncul upaya penyesuaian dunia pesantrcn dengan tradisi modern di Jawa oleh sistem pendidikan kolonial dan kesadaran pembaharuan yang dibawa oleh tokoh-tokoh masyrakat. Hal ini dapat dilihat pada pesantren Manbaul Ulum di Surakarta yang telah memasukkan mata pelajaran aljabar, membaca tulisan latin, dan berhitung dalam kurikulumnya pada tahun1906 . Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak pesantren, misalnya Tebu Ireng (1916) dan Rejoso (1972) yang keduanya telah memperkenalkan mata pelajaran-mata pelajaran nonkeagamaan dalam kurikulumnya., Pembaharuan di atas bila dianalisis lebih jauh akan terlihat bahwa aspek pembaharuan yang dilaksanakan beberapa pesantren di atas, adalah aspek materi dan substansi dari kurikulum yang diajarkan. Hal ini dipahami sebab dengan mempertahankan materi yang ada, ternyata pesantren telah terdesak oleh pendidikan kolonial. Di samping itu, juga para santri belum memiliki pandangan yang lebih jauh tentang arti pentingnya kesadaran pembaharuan yang terjadi di dunia Islam.
Kondisi si atas juga mengilhami para pengelola pesantren melakukam pembaharuan dalam aspek metodologi pengajaran dan pendidikannya. Salah satu pesantren yang menonjol adalah pondok pesantren modern Gontor yang berdiri pada tahun 1926. Pesantren modern ini mewajibkan para santri menggunakan bahasa Arab clan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hati. Di samping itu, juga tcrdapat kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga dan kesenian. Terdapat juga pesantren yang memperlihatkan kegiatan keterampilan sebagai bekal santri untuk bisa mandiri. Hal ini dapat dilihat dad Perserikatan Ulama di Jawa Barat. Organisasi ini mendirikan scbuah lembaga atas basis kelembagaan pesantren yang kemudian disebut sebagai Santri Asrama pada tahun 1932. Tokoh yang berada di balik pembaharuan ini adalah Haji Abdul Halim.'
Dengan melihat diskripsi di atas dapat dikatakan bahwa pembaharuan yang dilaksanakan di dunia pesantren mengarah pada dua aspck berikut.
a. Aspek yang menyangkut materi kurikulum ini dapat dilihat pada kasus pesantren Nianbaul Ulum, Tebu lreng, dan Rejoso.
b. Aspek yang berhubungan dengan metodologi pengajaran dan pendidikan.
Sebagaimana diperlihatkan di pondok pesantrcn modern Gontor dan Santri Asramanya kyai Abdul Halim di Jawa Barat. Karena satu pesantren dan yang lainnya menggunakan berbagai sistem pembaharuan yang berbeda-beda, maka produk yang dihasilkan beragam pula. Dengan dcmikian, tidak akan terfadi kekeringan visi dan aksi. Walaupun demikian, filosofi dasar pembaharuan di dunia pesantren tidak mengalami pergeseran, yakni taffaguh al-dien.
Pembaharuan di atas secara historis telah terjadi pada masa kolonial Hindia Belanda. Sedangkan pembaharuan di dunia pesantren yang terjadi pasca kemerdekaan memperlihatkan terjadinya proses pembaharuan yang semakin multidimensional. Bila pada masa pra-kemerdekaan masih mengacu pada revisi kurikulum dengan memasukkan pelajaran dan keterampilanrumum metodologi pengajarannya maka pada masa kemerdekaan semakin komplek, yakni mengarah ke bidang institusi dan fungsi.
Pergeseran fungsi di atas berpengaruh pada sistem manajerial pesantren. Jika pada awal pesantren dipimpin (dimanajeri) oleh seorang kyai maka pada saat Orde Baru, mulai ditangani oleh beberapa pihak, semacam yayasan atau lembaga. Hal ini memberi warna tersendiri pada perjalanan pesantren. Dengan sistem manajemen yang “original” dapat dimungkinkan adanya mobilitas yang tinggi dalam memenuhi tuntunan zaman dan masyarakat. Dengan sistem manajemen yang bukan bertumpu pada satu orang akan mempengaruhi keluasan pesantren.
Bila mengkaji uraian di atas dapat diuraikan bahwa pada masa revolusi, Orde Lama dan Orde Baru telah terjadi pergeseran dunia pesantren. pertama, pergeseran fungsi. Hal ini dapat dilihat, jika pada masa kolonial dan sebelumnya, pesantren bcrfungsi scbagai sarana dakwah dan transfer ilmu-ilmu agama (tuffaquh al-adiefa) maka pada masa selanjutnya bergeser dan meluas pada fungsi basis kekuatan jihad dan pengembangan masyarakat (fungsi pclestarian dan lingkungan hidup). kedua, pergeseran fungsi manajemen. Pegeseran ini dapat dilihat pada kepemimpinan pesantren. Bila pada awalnya (sampai tahun 1950-an) masih tcrpaku pada manajemen tunggal (satu orang kyai). Hal ini tentunva lebih menguntungkan eksistensi serta pengembangan pesantren itu sendiri. Sebab berbagai pemikiran dan kebijaksanaan yang diambil merupakan pergulatan pemikiran dari beberapa pihak yang berkomperen.

E. TAHAPAN PEMBAHARUAN DI PESANTREN
Pada dasarnya pembaharuan yang dilaksanakan pesantren merupakan langkah lanjut daii tahapan-tahapan penyempurnaan yang dilakukan oleh pesantren itu sendiri. Bila dilihat secara kronologis, tahapan-tahapan pesantren mulai dari perintisan sampai adanva modernisasi dan dapat dikelompokkan pada tujuh tahapan, yaitu:
1. Tahapan RintisanAwal
Pada tahap ini mulai dilakukan pengkajian al-Qur'an dan pelajaran shalat atau praktik ibadah lainnya. Pada tahap ini masih sangat sederhana dan biasanya anak-anak tetangganya masih banvak yang mengikuti. Tahap ini diikuti oleh pengakuan baik dari masyarakat maupun pemerintah. Hal ini berarti dengan diperolehnya legitimasi bukan hanya dari santri, melainkan juga dari pengusaha yang memang sangat penting dalam upaya rintisan dan pengembangan pesantren.
2. Tahapan Peralihan
Pada masa ini dengan adanya legitimasi yang lebih mantap, daya tarik pesantren semakin kuat. Pendidikan dan pengajaran al-Qur'an dan ilmu keislaman lainnya tidak mungkin dilakukan oleh kyai itu sendiri, sehingga sang kyai mengangkat pembantu atau badan untuk mcngajar ilmu-ilmu keislaman yang semakin beragam. Sistem lama yang telah dikenal dengan istilah sistem salaf dilengkapi dengan sistem madrasah dan klasikal. Pada tahap ini dengan berbagai mesjid sudah tidak layak menjadi tempat belajar para santri karena mereka telah belajar di ruang tertentu, namun masih di dalam rumah.
3. Tahapan Formalisasi
Pada tahap ini jumlah santri terus meningkat, mau tidak mau diperlukan organisasi yang lcbih besar dengan pembagian tugas yang lebih jelas. Guru-gurunya diambil dari para santri senior dengan sitem magang, yang setelah mengajar beberapa tahun akhirnva dipercaya untuk tetap mengajar sesuai dengan keahliannya. Sedikit demi sedikit cara belajar klasikal di rumah dipindahkan ke bangunan madrasah bersamaan dengan pendidikan klasikal di madrasah. Sedangkan untuk masyarakat umum juga diadakan pengajian.
4. Tahapan Konsolidasi
Pada tahap ini apa yang telah dirintis sebelumnya dimantapkan, lebih terorganisasikan sccara lebih baik. Tahap ini juga dikenal dengan tahapan pemantapan. Tahap ini ditandai dengan teraturnya sistem pendidikan dengan berbagai macam peraturan, terutama peraturan pesantren. Tahap ini juga ditandai dengan jadwal pelajaran dengan rapi. Kemudian karena semakin bertambahnya peminat, akhirnya dibuka tingkat lanjutan, Madrasah Tsanawiyah bertepatan dengan pembangunan pesantren untuk menyediakan tempat mukim bagi para santri vang berasal dari luar daerah.
5. Tahapan Legitimasi
Dalam arti pemenuhan syarat legal atau hukum negara. Merasa perlu diadakan perluasan jangkauan pengembangan. Perluasan ini menuntut sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi agar secara tegar memiliki kesahihan atau landasan hukum berupa yayasan. Setelah yayasan ini terbentuk maka usaha pembentukan dana dilakukan dengan intensif, di samping dermawan dan sumber dana yang lain, dengan adanya akte yayasan ini memungkinkan sebuah pesantren untuk mengembangkan kegiatan yang makin beragam.
6. Tahapan Diversifikasi
Tahapan diversifikasi yaitu penganckaragaman jenis-jenis kegiatan dan pelayanan yang bisa dilakukan, baik sebagai realisasi dan fungsi pendidikan keislaman maupun kemasyarakatan. Oleh karena tuntutan masyarakat sekitar dan keinginan untuk memenuhi pelayanan masyarakat maka pcsantrcn tidak bersikap masa bodoh. Persoalan-persoalan di lingkungan pesantren sudah semakin rumit. Di sini terlihat bahwa pesantren merasa terpanggil untuk ikut serta melakukan sesuatu yang memang tepat untuk dilaksanakan. Kontak-kontak dengan berbagai lembaga kemasyarakatan dengan mcnunjukan arah perkembangan dunia pesantren menjadi lebih terbuka, bahkan dalam beberapa hal pesantren cukup dominan dalam menentukan nilai-nilai dan norma di masyarakat. jenis-jenis kegiatan dalam bentuk pelayanan yang beragam antara lain pusat kesehatan masyarakat, unit-unit usaha pesantren untuk mendukung eksistensi pesantren, penyebaran teknologi tepat guna, latihan keterampilan bagi santri, pembukaan beberapa fakultas perguruan tinggi, penyediaan fasilitas untuk musyawarah nasional NU, latihan kepemimpinan bagi para santri, dan bentuk-bentuk lainnya. Pada tahapan ini terlihat bahwa pesantren telah melampaui batas-batas pengertian yang selama ini dianut oleh kebanyakan orang, sehingga gambaran yang relatif tepat mengenai pesantren dan dinamika internal maupun eksternal dapat dipahami.
7. Tahapan Desentralisasi
Tahapan desentralisasi merupakan konsekwensi logis dari makin beragamnya fungsi kegiatan serta peranan pesantren, dan ini kelihatannya merupakan keniscayaan. Otonomi relatif masing-masing bagian, pendelegasian wewenang nilai untuk urusan teknik operasional, masuknya gaya “teknokrat” dan pengelolaan yang lebih profesional, merupakan gejala reduksi otoritas dan dominasi kyai, dan peranan kekuasaan simbolis dari kyai yang semakin tampak, menunjukkan bahwa tahapan ini dapat ditafsirkan sebagai proses demokratisasi.
Tahapan-tahapan di atas merupakan satu rangkaian yang saling mengait. Tidak semua pesantren mengalami ketujuh tahapan di atas secara sempurna. Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa respon pesantren terhadap pembaharuan cukup heragam. Respon mereka inilah yang menentukan sempurna dan tidaknya ketujuh tahapan di atas. Pesantren yang lebih cenderung pada sistem salaf; perkembangannya hanya sampai pada tahap kedua, sedangkan pesantren yang sangat akomodatif akan berupaya untuk melaksanakan seluruh tahapan tersebut. Sebagai usaha akhir dapatlah dikatakan, bahwa bcrbagai dimensi pesantren telah memberikan berbagai fenomena yang cukup menarik, sebab di satu sisi pesantren sebagai pusat pendidikan dan pada sisi yang lain tetapi pada saat yang sama pesantren sebagai benteng nilai-nilai tradisional, religius, dan nilai-nilai moral yang senantiasa harus ditegakkan sepanjang masa.

0 komentar:

Posting Komentar