Istilah Pemahaman
Berpidato Bahasa Jawa.
Beberapa
istilah yang perlu diperjelas maknanya untuk memperoleh pemahaman yang sama dan
tidak memunculkan salah tafsir adalah sebagai berikut.
1. Pengembangan bahan ajar
adalah proses perancangan dan penilaian bahan, alat atau perangkat yang
digunakan dalam kegiatan belajar mengajar atau segala sesuatu yang digunakan
untuk menyampaikan informasi dalam proses pembelajaran demi tercapainya tujuan
instruksional.
2. Materi berpidato bahasa Jawa
adalah kompetensi dasar berbicara bahasa Jawa yang dibelajarkan pada siswa
berdasarkan kurikulum muatan lokal Bahasa Jawa yang disusun dan digunakan oleh
MGMP mata pelajaranbahasa Jawa di Kota Bojonegoro.
3.
Multimedia interaktiv adalah media berbantuan komputer (CD ROM) yang mampu memuat
berbagai macam bentuk penyajian audio dan video yang memungkinkan pengguna
melakukan interaksi dan menentukan alur belajar terhadap media tersebut sesuai
dengan kebutuhannya.
4.
Berpidato adalah kegiatan berbicara dalam
kelompok dg tujuan dan tata cara tertentu
Salah satu
bahasa daerah yang saat ini perlu untuk diperhatikan pelestariannya adalah
bahasa Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang berkembang di pulau Jawa yang berkembang
bersama budaya orang Jawa. Apabila kita memperhatikan perkembangan bahasa Jawa,
kita akan melihat realitas yang memprihatinkan. Pulau Jawa adalah pulau yang
menjadi tempat terjadinya pergesekan bermacam-macam budaya. Hal ini terjadi karena
pulau Jawa menjadi pusat aktivitas perkembangan negara Indonesia misalnya pulau
Jawa sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian, dan pusat pendidikan.
Kondisi ini
menempatkan pulau Jawa sebagai daerah tujuan utama mobilitas manusia danbudaya.
Pulau Jawa dibanjiri manusia dan komunitas yang berasal dari berbagai
latarbelakang budaya. Sehingga budaya Jawa harus bersiap-siap untuk
bersinggungan dengan budaya-budaya itu. Hal ini berarti perkembangan
kelestarian bahasa Jawa pun terancam.Saat ini bahasa Jawa mengalami tingkat
kompetisi yang tinggi di antara bahasa-bahasa yang berkembang di masyarakat,
seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Cina, bahasa Melayu, dan
bahasa-bahasa lokal yang lain.
Data lain menunjukkan bahwa menurut Kongres Bahasa Jawa ke IV, pemerintah
pusat dianggap tidak terlalu memperhatikan perkembangan pendidikan bahasa
daerah untuk melestarikan bahasa-bahasa itu. Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV di
Semarang tanggal 10 – 14 September 2006 menilai bahwa bahwa lembaga-lembaga
formal, seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata, Pusat Bahasa dan Balai-Balai Bahasa lebih memperhatikan bahasa
nasional dibandingkan pengembangan bahasa lokal khususnya bahasa Jawa.
Sejak Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah diberlakukan, bab-bab yang sifatnya kedaerahan
pembelajarannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Sementara itu, Pemerintah
Daerah lebih memperhatikan aspek social ekonomi dan sosial politik dengan
memandang sebelah mata aspek sosial budaya, termasuk bahasa daerah; hal ini
menyebabkan bahasa dan sastra Jawa semakin meredup perkembangannya.
Budayawan Darmanto Jatman mengingatkan, jika tidak
ingin punah, bahasa Jawa seharusnya mengikuti perkembangan zaman. Tidak perlu
dimunculkan fundamentalisme Jawa, yakni merasa cuma bahasa Jawa yang mengikuti
pakem, yang ndakik-dakik, yang dinilai halus tutur katanya, yang boleh
dipergunakan dan diperkenalkan kepada masyarakat . Pandangan ini menempatkan
usaha pengembangan-pengembangan pembelajaran bahasa Jawa harus dilakukan
menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Senada dengan yang disampaikan oleh budayawan Darmanto
Jatman, Adipitoyo dalam makalahnya yang disajikan dalam Kongres Bahasa Jawa ke
III tahun 2001 di Yogyakarta menyampaikan perlu adanya aktualisasi dan
faktualisasi pembelajaran bahasa Jawa agar bahasa Jawa mampu bertahan.
Adipitoyo (2001) menyatakan bahwa pengajaran bahasa Jawa di sekolah lebih
banyak berisi konsep-konsep tentang struktur bahasa Jawa yang artifisial
berdasarkan tatabahasa tradisional.
Di samping itu, juga kurang memperhatikan minat dan
kebutuhan siswa serta latar belakang kebahasaannya.Hal lain yang juga sering
dilupakan adalah perspektif kehidupan bahasa Jawa dewasa ini. Kenyataan itu
menjadikan sekolah terasing dari masyarakat penutur bahasa Jawa danpengajaran
bahasa Jawa menjadi pengajaran ilmu bahasa dan sastra Jawa. Oleh karena itu, pengajaran bahasa Jawa di sekolah
perlu diaktualkan dan difaktualkan.
Pengajaran
bahasa Jawa di sekolah perlu didasarkan pada bahasa Jawa sebagai bahan
pembelajaran bahasa, hasil pembelajaran bahasa, dan pengajaran bahasa. Bahasa Jawa
sebagai bahan pembelajaran bahasa adalah kesatuan antara sistem dan kaidah, fungsi,
dan realisasinya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Sebagai bentuk kesatuan
itu, maka bahasa Jawa harus dipelajari selaras dengan pengalaman kebahasaan sebagaimana
ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaan
bahasa tidak dapat dilepaskan dari pemahaman sistem dan kaidah, kebermaknaannya
dalam konteks kehidupan, dan penguasaan wujud ujarannya, serta penyikapan
berbagai bentuk kemampuan menyangkut kiat berbahasa sebagai satu keutuhan.
Bahasa Jawa sebagai hasil pembelajaran bahasa merupakan kemampuan berinteraksi
dengan menggunakan bahasa Jawa dalam peristiwa komunikasi; atau berupa kompetensi
kontekstual dan sosiolinguistik (fungsional) di samping kompetensi linguistik.
Departemen
Pendidikan di beberapa daerah memang memberlakukan mata pelajaran bahasa daerah
untuk mewadahi pelestarian bahasa daerah, namun dalam perjalanannya ternyata
tidak jarang pembelajaran bahasa daerah masih kurang maksimal.
Wulandari (2003), mengemukakan bahwa pembelajaran bahasa Jawa mengalami
hambatan-hambatan yang berpengaruh terhadap efektivitas pembelajaran bahasa
Jawa. Hambatan-hambatan itu, misalnya meliputi
kurangnya ketersediaan bahan belajar/buku, kurangnya frekuensi parasiswa
menggunakan bahasa Jawa dalam berinteraksi dan berkomunikasi, dan
kurangnyakompetensi pengajar bahasa Jawa di sekolah yang berlatarbelakang
mengajar bahasa Jawa.
0 komentar:
Posting Komentar